Mendagri: Maju Pilkada Jangan Sampai Abaikan Etika Berpolitik

By Admin

nusakini.com-Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo hadir di acara penyerahan DP4 dan DAK2 yang akan digunakan sebagai basis data penyusunan daftar pemilih untuk Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 belum lama ini. Bahkan, mewakili pemerintah, Menteri Tjahjo yang menyerah dua data tersebut kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman. 

Acara penyerahan DP4 dan DAK2 itu sendiri digelar di Gedung Grahadi, Kota Surabaya. Usai acara, Menteri Tjahjo langsung diserbu para wartawan yang banyak menanyakan beberapa isu aktual. Tentunya, salah satu isu yang ditanyakan adalah tentang dinamika yang terjadi menjelang pemilihan gubernur di Jawa Timur. 

Awalnya Tjahjo ditanya tentang pernyataannya terkait kunci suksesnya Pilkada. Menjawab itu, Tjahjo mengatakan, suksesnya sebuah kontestasi politik baik itu Pilkada, Pileg dan Pilpres, salah satunya adalah tingkat partisipasi pemilih. Kata dia, tingkat partisipasi pemilih harus meningkat. Ia contohkan, pada rangkaian Pilkada tahun 2015, tingkat partisipasi Pilkada mencapai 70%. Kemudian, pada Pilkada serentak tahun 2017, partisipasi kembali meningkat mencapai 74%. KPU sendiri menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada serentak tahun depan minimal bisa mencapai 78%. "Mudah-mudahan di tahun 2019 bisa meningkat jadi 80%," ujarnya. 

Kunci sukses yang kedua, kata Tjahjo, tidak ada politik uang dalam setiap proses tahapannya, baik itu dalam Pilkada maupun dalam Pileg dan Pilpres. Ketiga Bawaslu dengan kepolisian harus tegas. Jangan sampai ada kampanye yang berujar kebencian, berbau SARA dan fitnah. Misalnya dalam Pilkada, yang dikedepankan para calon kepala daerah, haruslah adu konsep, bagaimana membangun daerahnya. 

"Kemudian regulasi yang ada harus menjamin adanya etika berdemokrasi. Salah satu etika berdemokrasi bagaimana antar parpol, antar tim sukses pasangan calon jangan saling bajak membajakan," kata Tjahjo. 

Mendengar itu, seorang wartawan langsung menyela." Seperti Pilgub jatim?" Ditanya seperti itu, Tjahjo menjawab, bahwa ia tak menyebut daerah tertentu. Tapi itu untuk semua daerah. Membangun koalisi, jangan sampai mengabaikan etika berpolitik. Karena ketika etika politik diabaikan dan tidak dijaga dengan baik, demokrasi bisa rusak.  

"Sehingga buat apa ada kaderisasi, buat apa ada diklat calon kepala daerah, buat apa ada Pilkada, buat apa ada kebanggaan parpol, kalau saling bajak-membajak ini," kata dia. 

"Siapa yang kemudian membajak dan yang dibajak Pak?"kembali seorang wartawan melontarkan pertanyaan. 

Tjahjo pun langsung menjawabnya. Kata dia, etikanya bukan di partai politik, tapi individunya. Menurutnya, banyak calon kepala daerah yang abai akan pentingnya menegakkan etika berpolitik. Tidak hanya di Jawa Timur. Tapi di semua daerah di Indonesia. 

“Salah satunya Jawa Timur?" seperti tak puas, seorang wartawan memburunya dengan pertanyaan yang sama. "Dari 171 daerah itu, banyak," jawab Tjahjo. 

Pertanyaan lain yang ditanyakan kemudian adalah tentang menteri yang hendak maju dalam Pilkada. Para wartawan menanyakan, apakah menteri bersangkutan perlu cuti atau mundur. Awalnya Tjahjo tak menjawab. Sampai kemudian seorang wartawan kembali mengulang pertanyaannya. "Kemarin kan di media bapak mengatakan menteri untuk mundur dari jabatan?" 

Tjahjo pun menjawab. Menurutnya, dalam ketentuan UU itu, menteri yang maju dalam pemilihan hanya bisa cuti. Soal mundur tergantung menteri bersangkutan. Tapi kembali Tjahjo menegaskan, pentingnya menjaga etika dalam berpolitik. 

"Kalau menteri mau diajukan atau tidak, itu kan etika namanya. Sekarang masih etika politik. Nah kepala daerah setahu saya yang di luar provinsi misalnya bupati di Jawa Timur maju ke DKI harus berhenti, setahu saya loh. Tapi untuk kaitan di daerah yang sama ketentuan UU-nya tidak," tuturnya. 

Ketentuan yang timpang ini, kata dia, akan dikonsultasikan dengan DPR dan KPU. Tjahjo sendiri mengandaikan, etika pencalonan juga diatur dalam peraturan KPU. Sayang, aturan terkait itu belum ada. Kata dia, ketika seorang menteri maju ke pemilihan, apakah dia mau cuti atau mengundurkan diri, etikanya yang bersangkutan mengajukan itu ke presiden. Karena presiden adalah atasannya di kabinet. 

"Etikanya ya mengajukan kepada bapak presiden. Ya enggak tahu suratnya mau dibuat apa. Tapi kalau secara aturan itu cuti atau mundur, setahu saya enggak ada aturannya," katanya. 

Namun prinsipnya kata Tjahjo, semua berpegang pada aturan. Ia sendiri berpendapat, aturan yang sudah ada, idealnya ditinjau kembali. Jangan pesta demokrasi yang dilakukan mengabaikan etika berpolitik. "Soal demokrasi kalau mau mengambil sah-sah saja tapi kan kembali kepada individu yang ada," katanya.(p/ab)